Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih, mengusulkan sejumlah masukan kepada pemerintah agar dapat meningkatkan budaya literasi masyarakat Indonesia. Pasalnya, berdasarkan data yang diterimanya dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001% atau satu dari 1.000 orang yang gemar membaca.
Tidak hanya itu. Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), bahwa pada 2019 Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara dalam hal literasi.
Menurut Fikri, hal tersebut menunjukan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan tingkat literasi terendah. Dengan demikian, Komisi X DPR bersama dengan sejumlah mitra kerja perlu duduk bersama guna menyelesaikan persoalan literasi.
"Saya prihatin dengan persoalan literasi di Indonesia saat ini, yang berada pada kondisi darurat. Kondisi tersebut disebabkan karena abainya pemerintah dalam membangun budaya membaca,” ujar Fikri, seperti dilansir dari laman resmi DPR, Senin (2/10)..
Menurutnya, melalui Panja Peningkatan Literasi dan Tenaga Perpustakaan (PLTP), Komisi X mencatat sejumlah penyebab rendahnya literasi. Seperti rendahnya alokasi anggaran, kondisi perpustakaan sekolah yang tidak memadak, bahkan secara umum tidak semua sekolah memiliki perpustakaan. Termasuk, jumlah tenaga pustakawan yang tidak sebanding dengan jumlah perpustakaan.
Karena itu, Komisi X berharap dengan terselenggaranya FGD dengan sejumlah mitra kerja menghasilkan sejumlah masukan-masukan serta usulan yang dapat meningkatkan kembali budaya literasi di Indonesia.
Politikus Fraksi PKS ini mengatakan, pihaknya akan mendorong enam kementerian dan lembaga yang mengampu program literasi agar dapat bekerja sama dalam melaksanakan peta jalan pembudayaan literasi yang ditetapkan secara sungguh-sungguh dan saksama di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Ia pun mengharapkan adanya koordinasi antar K/L tersebut, kemudian, presiden atau pemerintah pusat menunjuk satu di antara K/L tersebut untuk menjadi leading sector.
Selain itu, Fikri mengatakan, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) untuk merespons kondisi darurat literasi dengan membuat program nasional, serta mengalokasikan anggaran yang memadai untuk kementerian/lembaga yang memiliki tugas pokok dan fungsi di bidang pendidikan dan literasi. Hal tersebut, menurutnya, penting dilakukan mengingat minimnya alokasi anggaran literasi yang diperoleh oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) RI.
"Diketahui anggaran Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI 2024 hanya Rp725 miliar. Adapun anggaran Badan Bahasa yang mengampu program literasi di Kemendikbud Ristek hanya 0,72% dari keseluruhan anggaran," kata Fikri yang merupakan Ketua Panitia Kerja Peningkatan Literasi dan Tenaga Perpustakaan DPR RI.
Dia juga menyatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait dalam membuat perencanaan kebutuhan tenaga perpustakaan dan alokasi dalam formasi rekrutmen Aparatur Sipil Negara (ASN) pada 2024.
"Jumlah tenaga perpustakaan tidak sebanding dengan jumlah perpustakaan. Belum ada skema alokasi kebutuhan tenaga perpustakaan di KemenPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) dan BKN (Badan Kepegawaian Negara)," ucap Legislator Dapil Jawa Tengah IX
Di kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Perpusnas RI Adin Bondar mengatakan, sesungguhnya budaya membaca perlu dikuatkan sejak di level dini, yaitu adanya kontribusi dari masing-masing keluarga. Hal itu karena budaya baca di masyarakat perlu ditanamkan, dikembangkan, serta dikuatkan mulai dari satuan pranata sosial terkecil bernama keluarga.
Menurutnya, banyak keluarga yang kurang menanamkan budaya baca di dalam keluarganya sendiri. Bahkan, seolah menyerahkan sepenuhnya pengembangan pendidikan motorik emosional anak ke satuan pendidikan.